Jumat, 12 April 2013

Pelaporan PPh Badan Tahun 2012 Paling Lambat Bulan April 2013



Tarif Efektif
Menurut penulis. ketentuan Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut rasanya sulit dipahami oleh Wajib Pajak badan dalam skala UMKM. Akan lebih mudah dicerna apabila dalam menghitung PPh terutang menggunakan cara tarif pajak dikalikan langsung dengan penghasilan kena pajak.
Apabila kita terjemahkan dalam bahasa matematika yang sederhana, dengan peredaran bruto kita singkat PB dan tarif PPh Badan adalah T, maka akan kita peroleh pernyataan sebagai beikut :
  1. Jika PB ≤4,8 Milyar, maka T = 12,5%
  2. Jika PB > 50 Milyar, maka T = 25%
Sementara itu, tarif efektif apabila peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar tapi tidak lebih dari Rp50 Milyar harus dapat kita hitung dengan persamaan sebagai berikut :
 
PPh adalah PPh terutang untuk tahun pajak 2010 dan tahun pajak berikutnya. PB adalah peredaran bruto (dalam rupiah) untuk satu Wajib Pajak badan dalam negeri tahun pajak 2010 atau tahun pajak berikutnya. PKP adalah Penghasilan Kena Pajak (dalam rupiah) untuk Wajib Pajak badan dalam negeri tersebut. Sementara M adalah menunjukkan angka dalam Milyar Rupiah.
Mengingat bahwa besarnya PPh = T x PKP,  maka tarif efektif PPh Badan bagi mereka yang memiliki peredaran bruto berada di kisaran Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar adalah :
 
Dengan demikian, misalkan apabila ada Wajib Pajak badan dalam negeri dalam tahun 2011 memiliki peredaran bruto Rp20 Milyar, maka tarif efektif PPh Badan adalah :
 Pada dasarnya, tarif PPh Badan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menganut tarif tunggal yaitu sebesar 28% pada tahun 2009 atau 25% pada tahun 2010 dan seterusnya. Namun demikian, ternyata tarif PPh Badan juga harus memperhitungkan fasilitas pengurangan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 31E Undang-undang tersebut. Adanya batasan peredaran usaha bagi Wajib Pajak badan yang berhak mendapatkan pengurangan tarif ini membuat tarif PPh Badan menjadi tidak sederhana. Nah, tulisan singkat ini akan mencoba menyederhanakan penghitungan PPh badan terutang dengan menyederhanakan tarifnya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa perubahan tarif PPh Badan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mulai diberlakukan untuk tahun pajak 2009. Bila berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, tarif PPh Badan merupakan tarif progresif dengan menggunakan tiga lapisan tarif, maka Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17 ayat (2a) menyederhanakannya dengan memperkenalkan tarif tunggal yaitu 28% tahun pajak 2009 atau 25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya. Berikut adalah perubahannya.
Tarif cfm UU Nomor 17 Tahun 2000
Tarif cfm UU Nomor 36 Tahun 2008
Lapisan PKP
Tarif
Lapisan PKP
Tarif
s.d Rp50 Juta
10%

Berapapun nilai PKP
28% (2009)
25% ( 2010 dst)
Di atas Rp50 Juta s.d Rp100 Juta
15%
Di atas Rp100 Juta
30%
Tarif Pasal 31E
Namun demikian, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 ini juga memberikan fasilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17 ayat (2b) berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal. Lalu, Siapa yang berhak untuk mendapatkan fasilitas pengurangan tarif? Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00. Bagi wajib pajak tersebut diberikan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a).
Dengan demikian, Wajib Pajak yang berhak atas fasilitas pengurangan tarif ini adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang peredaran brutonya tidak lebih dari Rp 50 Milyar. Jadi, selain Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto kurang dari Rp 50 Milyar tidak berhak atas pengurangan tarif ini, misalnya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak luar negeri. Begitu Juga, Wajib Pajak badan dalam negeri yang peredaran brutonya lebih dari Rp 50 Milyar juga tidak mendapatkan fasilitas ini.
Masih di Pasal 31E ayat (1), penerapan pengurangan tarif sebesar 50% inipun dibatasi yaitu hanya atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00. Hal ini berarti bahwa untuk Penghasilan Kena Pajak atas bagian peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, tetap dikenakan tarif normal 28% (tahun pajak 2009) atau 25% (tahun pajak berikutnya).
Ketentuan pengurangan tarif di atas dimaksudkan untuk mendukung program Pemerintah dalam pemberdayaan Wajib Pajak badan dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ketentuan ini juga bertujuan untuk mengurangi beban pajak bagi Wajib Pajak badan tersebut akibat penerapan tarif tunggal sejak tahun 2009. Padahal, pada tahun sebelumnya, tarif pajak bagi Wajib Pajak UMKM ini mungkin hanya 10% atau 15% saja.
Berikut ini adalah contoh penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Pasal 31E Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, sebagaimana dinyatakan dalam memori penjelasannya.
Misalkan peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00, maka PPh badan terutang tahun pajak 2009 untuk PT X adalah sebagai berikut :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =
Rp480.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas :
Rp3.000.000.000,00 - Rp480.000.000,00 =
Rp2.520.000.000,00
Jadi, Pajak Penghasilan yang terutang adalah :

Atas PKP Rp480.000.000,00      (50% x 28%) x Rp480.000.000,00             =
Rp 67.200.000,00
Atas PKP Rp2.520.000.000,00   28% x Rp2.520.000.000,00                          =
Rp705.600.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang
Rp 772.800.000,00

Berdasarkan penjelasan di atas, maka untuk Wajib Pajak badan dalam negeri, tarif pajak yang dikenakan adalah :
  1. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 Milyar, dikenakan tarif PPh Badan sebesar 50% x 25% atau sama dengan 12,5% (untuk tahun pajak 2010 dan tahun berikutnya)
  2. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto lebih dari Rp50 Milyar, dikenakan tarif PPh Badan sebesar 25% (untuk tahun pajak 2010 dan tahun berikutnya)
  3. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, dikenakan tarif PPh Badan sebagai berikut :
    1. Untuk Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 Milyar, PPh terutang adalah 50% x 25% x PKP. Artinya bahwa tarif PPh Badan adalah 12,5% pada bagian Penghasilan Kena Pajak ini.
    2. Untuk Penghasilan Kena Pajak sisanya, PPh terutang adalah 25% x PKP.

Tarif Efektif
Menurut penulis. ketentuan Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut rasanya sulit dipahami oleh Wajib Pajak badan dalam skala UMKM. Akan lebih mudah dicerna apabila dalam menghitung PPh terutang menggunakan cara tarif pajak dikalikan langsung dengan penghasilan kena pajak.
Apabila kita terjemahkan dalam bahasa matematika yang sederhana, dengan peredaran bruto kita singkat PB dan tarif PPh Badan adalah T, maka akan kita peroleh pernyataan sebagai beikut :
  1. Jika PB ≤4,8 Milyar, maka T = 12,5%
  2. Jika PB > 50 Milyar, maka T = 25%
Sementara itu, tarif efektif apabila peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar tapi tidak lebih dari Rp50 Milyar harus dapat kita hitung dengan persamaan sebagai berikut :
 
PPh adalah PPh terutang untuk tahun pajak 2010 dan tahun pajak berikutnya. PB adalah peredaran bruto (dalam rupiah) untuk satu Wajib Pajak badan dalam negeri tahun pajak 2010 atau tahun pajak berikutnya. PKP adalah Penghasilan Kena Pajak (dalam rupiah) untuk Wajib Pajak badan dalam negeri tersebut. Sementara M adalah menunjukkan angka dalam Milyar Rupiah.
Mengingat bahwa besarnya PPh = T x PKP,  maka tarif efektif PPh Badan bagi mereka yang memiliki peredaran bruto berada di kisaran Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar adalah :
 
Dengan demikian, misalkan apabila ada Wajib Pajak badan dalam negeri dalam tahun 2011 memiliki peredaran bruto Rp20 Milyar, maka tarif efektif PPh Badan adalah :
 

Kamis, 11 April 2013

Lanjutan Manajemen Perpajakan Edisi II


     7. Perusahaan menyewakan kendaraan, selama tahun 2013 total penghasilan sewa kendaraan adalah sebesar Rp 365.000.000,- dan dikenakan PPh pasal 23 sebesar Rp 7.300.000. dikarenakan perusahaan menggunakan metode gross up dalam menghitung dan membayar pajak dalam rangka efisiensi pajak maka pajak yang dibayar perusahaan adalah sebesar Rp 7.448.980,- dengan cara Rp 365.000.000,-/(100%-2%) = 372.448.979 x 2% = Rp 7.448.980,-. Sehingga pendapatan sewa yang diakui perusahaan adalah Rp 372.448.979.

     8. Perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan Penyertaan modal ke PT MAJU TERUS adalah 30% dari total modal. Pendapatan deviden yang diperoleh perusahaan pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 500.000.000,-

    9.  Perusahaan memberikan fasilitas kepada Direktur berupa tunjangan transportasi dan tunjangan komunikasi, hal ini dilakukan agar biaya tersebut dapat diakui sebagai biaya dibandingkan perusahaan memberikan fasilitas mobil dan telepon celuler yang hanya boleh diakui 50% saja atas biaya yang akan dikeluarkan nantinya contohnya penyusutan dan pemeliharaannya

Kasus : perhitungan untuk 1 orang



Sehingga total gaji direktur dan komisaris selama setahun yang dapat di biayakan adalah sebesar Rp 245.895.000,-

Apabila perusahaan memberikan fasilitas dalam bentuk telepon celuler dengan asumsi biaya telepon selama setahun adalah Rp 18.000.000,- diakui oleh pajak hanya 50% yakni Rp 9.000.000,- dan  fasilitas transportasi dengan biaya pemeliharaan adalah sebesar Rp 20.000.000,- dan hanya diakui Rp 10.000.000,- sedangkan dari sisi penyusutan untuk Kendaraan (asumsi) harga perolehan 250.000.000,- menggunakan metode garis lurus sebesar Rp  31.250.000,- pertahun dan hanya dapat diakui sebesar Rp 15.625.000,-,

Dengan asumsi seperti maka akan lebih baik kendaraan di gunakan untuk kegiatan usaha perusahaan sehingga penyusutan sebesar Rp 31.250.000 dapat diakui full. Sedangkan telepon celuler tidak perlu di adakan.

Berdasarkan informasi-informasi diatas dapat terlihat efisiensi perusahaan dalam membayar pajak, antara lain sbb : (Item-item akun yang digunakan hanya berdasarkan informasi yang diatas)



Dari perhitungan PPh Tahunan 2013 dengan menggunakan perencanaan pajak yang baik perusahaan dapat mengefisiensi pajak sebesar Rp 53.287.277,-  selain itu perusahaan juga melakukan efisiensi pajak masa pada pph pasal 21 sebesar Rp 12.586.875,- dan PPh 23 sebesar Rp 931.122,38. Dan dengan pemilihan lokasi usaha di daerah yang memperoleh fasilitas pajak sehingga menghemat PPN sebesar Rp 475.050.000,- sehingga selama tahun 2013 total efisiensi pajak adalah sebesar Rp 541.855.274,38.

Lanjutan Manajemen Perpajakan


   4.  Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian yang dizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average) dan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Idealnya dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok yang lebih tinggi dibanding dengan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil. Akan tetapi hal tersebut tidak selamanya seperti itu, seperti pada contoh berikut ini :

Perhitungan Nilai Persediaan Dengan Metode Rata-Rata



Perhitungan Nilai Persediaan Dengan Metode FIFO


Dalam contoh kasus ini HPP yang lebih tinggi adalah menggunakan metode FIFO, sehinga akan efektif apabila menggunakan metode ini. Dengan asumsi perhitungan diatas adalah transaksi untuk 1 bulan dan untuk 11 bulan selanjutnya sama dengan transaksi tersebut sehingga total HPP selama 1 tahun adalah sebesar Rp 3.618.000.000,-. Apabila menggunakan metode Average HPP selama 1 tahun adalah Rp 3.323.572.800,-
             
    5. Pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan   mempunyai prediksi laba yang cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat (saldo menurun) sehingga  atas biaya penyusutan tersebut dapat mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal-awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya.

Contoh :
Sebuah mesin yang diperoleh tanggal 5 januari 2013 dengan harga perolehan Rp. 500.000.000,00 dan masa manfaatnya 4 tahun, maka penyusutannya untuk tahun 2013 apabila menggunakan metode garis lurus adalah sebesar Rp 125.000.000,- dan metode saldo menurun sebesar Rp 250.000.000,-. Pada kasus sekarang yang digunakan adalah metode garis lurus dikarenakan perkiraan investasi belum bisa memberikan keuntungan yang banyak atau mungkin mengalami kerugian.

   6. Bunga atas pinjaman yang digunakan untuk usaha dapat menjadi biaya, kecuali  biaya bunga yang dibayarkan kepada pemegang saham dengan ketentuan sbb :

Pemegang saham tersebut belum sepenuhnya menyetorkan modal sesuai dengan persyaratan permodalan menurut akte pendirian dan modal pinjaman yang dari pemegang saham tersebut berasal dari pihak ketiga.
            Kasus :
          Perusahaan membutuhkan dana sebesar Rp 200.000.000, adapun perencanaan pajaknya adalah :
1.    Apabila dana diperoleh atau dipinjam dari pemegang saham maka biaya bunga tidak dapat di biayakan
2.  Apabila dana diperoleh dari peminjaman ke bank (pihak ketiga) maka biaya bunga yang dikenakan dapat di biayakan
Dengan asumsi biaya bunga pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 32.000.000,- dan pada kasus ini yang dipilihan adalah No.2. dan dikenakan PPh pasal 23 dengan tariff 2% sebesar Rp 640.000.
Apabila pinjaman diperoleh dari pemegang saham maka biaya bunga tidak dapat di biayakan.

Manajemen Perpajakan


     1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang tepat sesuai dengan     kebutuhan dan jenis usaha. Kalau dari perspektif perpajakan pemilihan bentuk badan hukum (legal entities) bentuk perseorangan, firma dan kongsi (partnership) adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibanding perseroan terbatas yang pemegang sahamnya perorangan atau badan tetapi kurang 25%, akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham perseorangan atau badan yang kurang dari 25%. 

    Sebagai contoh: pemilihan bentuk usaha perseorangan akan lebih menghemat pajak karena terhindar dari pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi pada bentuk usaha perseroan terbatas.

   2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan semacam insentif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu contohnya Batam merupakan daerah ftz tidak dipungut PPN atas transaksi pembelian dan penjualan barang atau jasa.

Asumsi perusahaan berada di Batam dengan peredaran usaha utama selama setahun sebesar Rp 4.750.500.000. perusahaan sudah menghemat biaya pajak sebesar Rp 475.050.000,- yakni tidak dikenakan PPN sebesar 10%.

     3. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan (fringe Benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum, Karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit) dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi pegawai yang menerimanya.

Contoh :



Dapat terlihat bahwa dengan perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada karyawan akan terjadi penghematan pajak sebesar Rp 182.500,-.
Diasumsikan untuk kasus ini biaya gaji untuk seluruh karyawan adalah sama dengan status “Tidak Kawin”  dan jumlah karyawan perusahaan berjumlah 20 orang sehingga total biaya gaji dengan adanya tunjangan pajak sebulannya adalah sebesar Rp 87.650.000 dan setahun sebesar Rp 1.051.800.000,- apabila tanpa tunjangan pajak maka biaya gaji yang dapat diakui hanya Rp 1.008.000.000,-.

Selasa, 09 April 2013

PTKP Tahun 2013

PTKP PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi Tahunan mengalami perubahan sejak 1 Januari 2013 :


Penghasilan Tidak Kena Pajak

Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:

a. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
   dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
   keluarga.


PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah PTKP per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua belas), sebesar:

a. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b. Rp168.750,00 (seratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp168.750,00 (seratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
   dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
   tiga) orang untuk setiap keluarga.

Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;

b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
   sepenuhnya.


Informasi Selanjutnya dapat mengunjungi : Pajak.go.id